by

KH Dudi Akasyah Ihsan : Hikmah Thawaf

Catatan penulis di bawah ini, hanya laksana sebutir debu di padang pasir berkenaan hikmah thawaf, sebagai tanda kerinduan dan selalu ingin kembali melaksanakan thawaf.

Mukadimah

Hadir di Masjidil Haram

Perjalanan tiba di Kota Mekkah. Mata langsung memandang Masjidil Haram yang megah, yang selama ini hanya bisa dilihat dalam pajangan dinding di rumah atau hamparan sajadah.

Menatap Ka’bah

Saat mata memandang ka’bah, rasa hati membuncah, air mata pun pecah, puluhan tahun ia dirindukan, pertemuan itu kini menjadi kenyataan. Bacaan doa memandang ka’bah dikumandangkan (Panduan doa terdapat di buku “Doa Praktis Manasik Haji dan Umroh,” disusun oleh Kementerian Agama RI dan buku panduan lainnya).

Sangat disayangkan apabila tidak thawaf, hanya di Ka’bah kita bisa thawaf. Masjidil Haram diramaikan oleh jamaah yang melaksanakan thawaf. Di masjid lain kita tidak bisa thawaf.


Thawaf, Mengelilingi Ka’bah

Memasuki pelataran ka’bah, kita langsung melaksanakan thawaf. Selama 7 putaran kita bergerak, bertasbih, memuji Allah tanpa henti. Pakaian ihram menjadi saksi perjalanan suci. Bersama jamaah dari seluruh pelosok bumi, dengan tujuan yang pasti, penuh energi, menunaikan ibadah haji dan umroh di tanah suci.

Kita berjalan bersama para jamaah dari berbagai negara, berbagai suku bangsa, berpakaian sama (kain ihram), bacaan doa yang sama, dan isi hati yang sama yakni menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kain ihram yang dipakai, dua helai kain putih tak berjahit. Tak ada kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata, tak ada pangkat, jabatan atau status sosial, kebanggaan atas suku bangsa, ras kulit, bahasa, atau status dunia, yang dimulaikan hanyalah taqwa.

Meski berdesakan namun tetap tertib dan lancar. Kita semua anak keturunan Nabi Adam ‘alahissalam dan Ibu Siti Hawa radhiayallahu ‘anha. Semua fokus berdoa, tak ada sombong atau jumawa, tak ada iri maupun dengki.

Melihat jamaah membawa anak kecil, ma sya Allah lucunya anak itu, sungguh bangga orang tuanya, kecil-kecil sudah berpakaian ihram, praktik langsung ibadah thawaf. Kami memohon kepada Allah agar anak keturunan semuanya bisa menunaikan ibadah haji, semuanya, semuanya. Aamiin ya Rabb.

Seketika, saya dan istri teringat kepada anak-anak di rumah. Alangkah bahagianya ketika kami kembali ke tanah suci bersama dengan Kak Putri, Kak Alya, dan De Azmi. Aamiin Allahumma aamiin.

Melihat jamaah bersama dengan orang tuanya, ma sya Allah, hati pun luluh, kami memohon kepada yang Maha Kaya agar mampu mengajak orang tua tercinta menunaikan thawaf bersama dari awal hingga akhir. Bersama tidak hanya di kampung halaman, namun juga bergandengan tangan di Haromain. Allah…kabulkan doa kami.


Manusia pertama, Nabi Adam ‘alaihissalam sering melaksanakan thawaf di Ka’bah. Ribuan tahun sebelum itu para malaikat telah berthawaf di tempat yang diberkahi ini.

Tempat thawaf merupakan awal sejarah dakwah para Nabi. Nenek moyang manusia. Perjuangan para Nabi, Rasul, dan orang-orang shalih terdahulu.

Di sini Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam berdakwah, tempat turunnya ayat-ayat Al Quran yang mulia. Di titik ini, Malaikat Jibril ‘alahissalam sering turun ke bumi bertemu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.

Thawaf ramai siang dan malam. Saya mencoba hadir di setiap waktu, ternyata thawaf tak pernah berhenti. Jam 1 atau jam 2 dinihari tetap disesaki jamaah. Hajar Aswad tetaplah sulit untuk dijangkau.

Cleaning servis di area thawaf tampak seperti pasukan yang bergerak kompak serempak untuk menjaga kebersihan dan kesucian tempat thawaf. Belum pernah kita saksikan dimana pun kecuali di Masjidil Haram tentang bagaimana kesigapan cara kerja petugas kebersihan.

Thawaf ada di 24 jam, siang malam tak pernah henti, tidak ada jeda, tak ada rehat. Derap kaki hamba beriman. Cahaya menerangi qolbu, berputar beriring tasbih.

Kapan pun kita beranjak, tak lihat terang maupun gelap, thawaf sudah menanti, menemani perjalanan diri yang berlumur dosa untuk memohon ampun, dan ucapan syukur.

Engkau telah berikan rezeki kepada kami sehingga dapat menginjakkan kaki di kota suci, menunaikan thawaf dan sa’i. Kami telah diberikan mampu oleh Engkau sehingga jiwa dan raga betul-betul bisa hadir di tempat yang istimewa, Ka’bah Al-Musyarafah.

Nabi dan orang shalih terdahulu telah mengerjakan thawaf di Ka’bah. Para kekasih Allah berkumpul dan bermunajat di Baitulllah. Alhamdulillah kami bisa hadir dan berdoa agar kami sekeluarga juga memperoleh keberkahan sebagaimana barokahnya orang-orang shalih terdahulu.

Memulai thawaf, dimulai dari Hajar Aswad, bercirikan lampu hijau. Kain ihram sebelah kanan dibuka (idhthiba’), sambil melambaikan tangan ke arah Hajar Aswad lalu mengecup (istilam), sembari membaca Bismillahi wa Allahu Akbar, sambil terus berjalan. Thawaf dimulai.

Berjalan, berputar, mengelilingi Ka’bah Al-Musyarafah. Ada yang berjalan cepat, perlahan, ada yang digendong, ada pula menaiki kursi roda. Ada yang jalan sendiri-sendiri, ada juga yang jalan berkelompok.

Tidak mudah kita untuk menyeberangi lintasan. Jika ingin melipir (menepi) harus perlahan sedikit-sedikit, persis seperti kita sedang mengendarai kendaraan. Hal itu menunjukan betapa banyaknya orang thawaf setiap saatnya.

Saat sampai ke putaran akhir, putaran tujuh, kami persiapan untuk menepi. Menuju ke pinggir lintasan bukan hal mudah, sebab bisa saja tertubruk oleh lintasan samping. Sedikit demi sedikit disertai lambaian tangan kanan sebagai tanda kami akan menepi.

Sambil menatap Multazam, kami membaca doa sesudah thawaf, dilanjutkan shalat sunah, berdoa, dan minum air zamzam. Alhamdulillah bahagianya diri ketika selesai mengerjakan thawaf.

Thawaf mengajari kita bahwa taat akan memberi kita semangat menjadi pribadi yang lebih baik; taat menjadi sumber energi berlipat-lipat.

Melalui thawaf kita menjadi manusia ridha meski harus berkeliling terus menerus. Keridhoan yang memberikan kebahagiaan serta kepuasan lahir dan batin.

Sembari mata memandang ka’bah yang mulia, bangunan tertua di bumi, baitul ‘atiq, kaki terus berjalan, bibir tak henti-hentinya berdoa, hati ikut hadir, demikian pula dengan tangan, mata, dan telinga.

Gema takbir, tahlil, tasbih, dan doa, berkumandang antara satu sama lain. Kita belum kenal satu sama lain, negara kita berbeda, bahasa tak sama, ras kulit dan etnis sangatlah asing namun iman kita sama, pedoman kita sama, dan ibadah kita sama. Meski belum pernah tegur sapa namun cukup dengan pertemuan saat thawaf telah mewakili silaturahmi antar negara dan silaturahmi multinasional.

Jam besar penunjuk waktu, terpampang di Tower Zamzam, bukan perintah untuk istirahat, tetapi seolah perintah habiskan waktumu untuk ibadah, mumpung kamu ada di sini, mumpung masih mampu, mumpung masih di dunia. Kita dikejar waktu, habiskan waktumu untuk ibadah.

Meski malam telah larut, atau malam telah berganti dinihari, jamaah terlihat sangat sibuk, ada yang mengantri masuk ke Hijir Ismail, ada yang berjibaku sekuat tenaga supaya bisa mencium Hajar Aswad, sebagiannya meraih pintu kabah, lainnya berdoa di Multazam, atau shalat di Maqam Ibrahim, kesibukan yang tak pernah reda tak pernah ada waktu tidur, orang thawaf terus berputar siang dan malam.

Tower Zamzam menampilkan jarum jam yang besar sebagai pengingat waktu shalat dan jam berapa badan diberi makan. Andaikan, tak ada kewajiban memenuhi kebutuhan hak jasmani, maka ingin rasanya semua waktu diisi di Masjidil Haram.

Meski arus kuat lautan manusia, dalam thawaf tak ada yang tertabrak atau binasa, semuanya berkeliling bersama, doa dengan seksama, pikiran tak terganggu, hati senantiasa bermunajat dengan khidmat.

Saat thawaf dijalani, kaki terasa ringan, energi makin bertambah, seperti ada dukungan yang amat kuat, bibir basah dengan dzikir, doa dibacakan tanpa henti, tujuh putaran ditunaikan tuntas, kami menepi, hati pun berseri.

Selesai thawaf kami merasa lebih kuat dari sebelumnya, jiwa lebih segar, sebab telah mengerjakan pekerjaan yang besar dalam timbangan-Nya. Ya Rabb, terimalah thawaf kami. Aamiin.

Saat itu, sesudah selesai thawaf, kaki masih berada di dekat Ka’bah. Mata melihat ke Hajar Aswad, ingin sekali menciumnya. Namun apa dikata, dipenuhi jamaah, sesak, berjubel, rebutan sesuai dengan kekuatan tenaganya masing-masing.

Adakah sedikit waktu yang kosong di Hajar Aswad, jawabannya tidak ada sama sekali ! Kalau pun ada, hanya terjadi saat shalat berjamaah, itu pun dijaga askar. Jangan harap ada seorang jamaah pun yang bisa menjangkaunya. Selesai shalat berjamaah, dalam hitungan sepersekian detik, laksana air bah, jamaah segara menyerbunya kembali (Hajar Aswad).

Kaki ini pasrah berjalan, tidak memaksakan diri mendekati Hajar Aswad. Saya berjalan rileks mengelilingi Ka’bah sambil mengumandangkan murojaah hafalan Al-Quran. Tiba-tiba ada yang membimbing menuju ke Hajar Aswad, seketika wajah saya sudah ada di depan Hajar Aswad, kemudian saya mencium Hajar Aswad dan berdoa berlama-lama. Ma sya Allah, laa haula wa laa quuwwata illaa billaah. Demikian kun fa yakun dari-Nya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat tanpa harus keluar sedikit pun keringat.

Kemudian saya menyentuh kiswah Ka’bah, memeluk Ka’bah, dilanjutkan munajat di Pintu Ka’bah, dan di sebelah kirinya Multazam. Jamaah benar-benar sibuk dalam 24 jam, tak pernah henti berjuang, bekerja keras, mengeluarkan segenap kemampuan, tenaga, cara, teknik, atau apapun agar bisa bermunajat di tempat mustajab.

Allah Maha Menghendaki, memerintahkan hamba-hambaNya untuk thawaf. Orang beriman menunaikan perintah-Nya dengan penuh kepatuhan, tidak membantah dan tidak melawan. Berjalan dan berputar tanpa henti. Hasil dari kepatuhan selalu berbuah manis, seperti taatnya Ibrahim dan keluarganya.

Putaran thawaf mengukuhkan bahwa di luar sana, di alam kosmik, diketahui bahwa seluruh benda angkasa seperti bulan, matahari, bintang-bintang semuanya beredar, ber-thawaf, tak ada satu pun benda langit yang enggan dari ketaatan. Thawaf memperkenalkan kita pada dimensi alam semesta.

Dalam keseharian kita, putaran terjadi pada berbagai segi kehidupan. Jam berputar, mulai detik 1 sampai detik 60, dari menit 1 sampai menit 60, jam 1 sampai jam 12, begitulah seterusnya. Putaran hari pun demikian, hari Ahad, Senin, dan seterusnya kemudian kembali lagi ke Hari Ahad.

Manusia, dimulai masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, kembali ke masa kanak-kanak (masa pikun). Darah yang ada dalam tubuh pun berputar, demikian juga dengan siklus makan: lapar, makan, kenyang, lapar; minum, haus, minum dan seterusnya. Manusia kerja, dapat uang, habis belanja, kerja lagi, habis lagi. Manusia awalnya lemah (masa bayi), kemudian kuat, kemudian kembali lemah.

Apa yang didapat? Apa yang tersisa?

Teringat kepada Surat Al ‘Ashr bahwa waktu itu rugi kecuali bagi orang yang mengisinya dengan iman, amal shalih, dan nasihat kebaikan serta kesabaran.

Melalui thawaf, kita diarahkan agar bagaimana putaran itu bernilai ketaatan. Tak ada satu langkah pun yang sia-sia, tak ada waktu mubadzir, tak ada harta terbuang. Berlalunya manusia seyogyanya ia meninggalkan kebaikan. Ketaatan selalu berbuah kebaikan yang luar biasa.

Hidup ini berputar, generasi berganti ke generasi lainnya. Kita perlu memaksimalkan karunia ini untuk menjalankan ketaatan. Melalui thawaf kita dibimbing selalu tampil enerjik, segar bugar, menyingsingkan lengan baju, semangat dalam melaksanakan ketaatan, sama hal dengan semangatnya orang-orang yang sedang thawaf. Tujuh putaran tak terasa, demikian pula dengan umur kita, ada manusia yang sudah berumur 70 tahun, ia berkata: “Tidak terasa.”

Thawaf membimbing kita agar bagaimana “perputaran” dengan “taat” adalah benar-benar menyatu, terintegrasi, tak terpisahkan satu sama lain. Panjang umur diisi taat akan berbuah kebaikan yang luar biasa. Tenaga yang kuat dipakai taat akan memberi manfaat hebat. Harta yang banyak dipakai taat akan membuahkan hasil tak terkira. Mumpung semuanya belum meninggalkan kita, mumpung rezeki itu masih di tangan kita.

Saat kita mendatangi pelataran Ka’bah Al-Musyarafah, kaki sudah siap melangkah, kain ihram “disingsingkan” dengan idhthiba’, memulai langkah dengan menyebut Asma-Nya dan membaca takbir, bermakna antusiasme, semangat, derap langkah penuh makna, berharap rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di saat thawaf, kita berdesakan dengan orang-orang dari berbagai negara: Turki, Jepang, Mesir, Uzbekistan, Nigeria, India, dan negara-negara lainnya. Kita bertemu, saling mengenal dan menyapa; membuka cakrawala berpikir dan bergaul dengan orang asing, membuka wawasan internasional.

Wawasan nasional terbentuk dengan sendirinya dimana antar jamaah haji Indonesia tak ubahnya saudara sekampung, meski yang satu dari Sunda yang lainnya dari Bugis. Ketika ditanya dari Indonesia, maka bahasanya satu dan selera makannya pun sama.

Di saat thawaf sedang berlangsung, terdengar kumandang adzan, jamaah segera mengambil barisan ber-shaf-shaf. Mengikuti shalat dengan khusyu. Seusainya shalat, jamaah segera berdiri untuk thawaf, mengikuti perputaran; begitulah seterusnya.

Orang thawaf tak pernah bosan, setiap orang ingin selalu thawaf, hanya saja ketahanan fisik ada batasnya serta memberi kesempatan bagi jamaah yang lainnya. Hikmah bagi kita, ternyata taat itu nikmat, zona aman, nyaman, menguntungkan, dan menikmati istiqomah.

Ternyata, nikmatnya thawaf tak kalah dibandingkan nikmat makan atau minum, bahkan thawaf nikmatnya lebih daripada itu. Kita makan di hotel agar bisa thawaf lagi. Renungan bagi kita, bahwa memperoleh dunia tujuannya untuk ibadah. Maka kenapa ada orang tujuannya hanya untuk makan dengan meninggalkan ibadah.

Ketika kita kembali ke negeri semula, maka carilah rezeki untuk tujuan ibadah, seperti kita kembali ke hotel dengan tujuan mempersiapkan diri untuk mengikuti thawaf selanjutnya.

Apakah di sini kita ingin menikmati hotelnya atau thawafnya? Yang ingin menikmati hotel berarti ia belum punya tujuan untuk apa ia ada di sini. Tentu, orang akan lebih memilih menikmati thawaf. Sangat disayangkan jauh-jauh datang hanya untuk menikmati bangunan yang di negeri asal pun banyak ditemukan. Sama halnya dengan kita sebagai manusia, kalau hidup hanya untuk makan maka semua binatang pun bisa melakukannya, sangat disayangkan apabila manusia tidak mau melaksanakan ketaatan, padahal mereka (manusia) sudah diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Saat mengikuti putaran thawaf, bertemu dengan bekas telapak kaki Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (maqom Ibrahim), melewati Hijir Ismail, agar kita memperoleh keberkahan seperti keluarga Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Samudera hikmah dari syariat thawaf sungguh luas dan dalam. Darinya kita memperoleh banyak pelajaran kehidupan dan cara hidup terbaik sebagai seorang hamba di hadapan Sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ibadah (thawaf) menjadi tujuan tertinggi bagi makhluk bernama manusia. Tujuan hidup hanya untuk ibadah adalah pernyataan yang tak terbantahkan lagi.

Saat jasmani sudah dipenuhi kebutuhannya maka dorongan untuk kembali thawaf sangat tinggi. Kaki melangkah dan terus melangkah.

Terlihat petugas sibuk siang dan malam, alur jalan manusia sengaja dibuat rekayasa oleh petugas (askar) agar jamaah tidak tersendat yang akibatnya bisa sangat berbahaya.

Hanya terjadi Masjidil Haram dimana alur jalan manusia dibuat rekayasa-rekayasa layaknya lalu lintas padat kendaraan di jalan raya, bahkan di Baitulllah hal ini terjadi setiap hari, setiap malam, setiap saat, agar pergerakan jutaan manusia dapat menjalani thawaf, sai, shalat, dan ittikaf sebagaimana mestinya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلۡيَطَّوَّفُوۡا بِالۡبَيۡتِ الۡعَتِيۡقِ
Wal yathawwafuu bil baitil ‘atiiq

“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu.” (QS Al-Hajj, 22:29).

Di dalam Kitab Tafsir Jalalain disebutkan bahwa yang dimaksud Baitul ‘Atiq adalah Baitullah, yaitu rumah pertama yang dibuat untuk ibadah oleh manusia.

اَنۡ طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِيۡنَ وَالۡعٰكِفِيۡنَ وَالرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ
Anthaahhiraa baitiya lithaa-ifiina wal ‘aakifiina warrukka’is sujuud

“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang yang ittikaf, orang yang ruku, dan orang yang sujud” (QS Al-Baqarah, 2:125)

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Barangsiapa yang thawaf sebanyak tujuh kali dan ia tidak berkata-kata kecuali ucapan: “Subhanallah, Alhamdulillah, la ilaha ilallah, Allahu Akbar, laa haula wa laa quwwata illaa billaah” maka baginya dihapus 10 kesalahan, ditulis 10 kebaikan, dan diangkat derajatnya 10 tingkat.”

“Setiap sehari semalam Allah menurunkan 120 rahmat atas Baitullah; 60 bagi yang thawaf, 40 bagi yang shalat, 20 bagi yang memandang ka’bah” (HR Thabrani)

“Dan barangsiapa yang melakukan thawaf dengan berkata-kata (tidak berdzikir) maka seakan-akan ia sedang berenang pada rahmat Allah dengan kedua kakinya, seperti ia berenang di air dengan kedua kakinya” (HR Ibnu Majah).

Utsman bin Sa’aj berkata, : Said memberi tahu bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam melaksanakan ibadah haji sebanyak 70 kali dengan berjalan kaki, kemudian para malaikat menemuinya di jalan setapak (di antara dua gunung) dan berkata: “Semoga hajimu mabrur wahai Adam, sedang kami telah berhaji sejak dua ribu tahun sebelum kamu” (Al- Azraqy: 1/45).

Thawaf merupakan ibadahnya para malaikat. Di atas langit ke tujuh para malaikat ber-thawaf di Baitul Makmur. Kita bisa melaksanakan apa yang biasa dikerjakan malaikat tentunya merupakan hal yang istimewa. Dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan Baitul Makmur adalah Ka’bah penduduk langit ketujuh. Demikian juga telah disampaikan Ibnu Jarir Ath-Thabari yang menyampaikan bahwa Baitul Makmur berada di sekitar Arsy, Baitul Makmur didatangi oleh 70.000 para malaikat yang mana mereka tidak pernah kembali lagi. Al-Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil menyebutkan bahwa Baitul Makmur di langit adalah sejajar dengan Ka’bah di bumi.

Wallahu a’lam bish shawab

Dari Buku Hikmah Haji & Umrah karya KH Dudi Akasyah Ihsan, (Jakarta: Pustaka Sakinah)

___________________

Comment

Leave a Reply

News Feed