Karya :
Dudi Akasyah
sakinah2007@gmail.com
Namaku Oziel. Umur 16 tahun. Lulusan Madrasah dari Kampung.
Aku girang sebab besok akan ke jakarta. Anak kampung yang terobsesi dengan kota metropolitan. Kota yang sering disiarkan TV dan tayangan sinetron.
Berbeda dari kebanyakan orang yang pergi ke kota untuk cari uang, kalau aku ingin mengembangkan diri (meski tidak tahu apa yang harus dikembangkan hahay).
Orang tuaku moderat, beliau selalu mendukung program apapun yang dibuat anaknya. Mungkin beliau sudah yakin dengan hasil bimbingan madrasah selama ini. In sya Allah, aku selalu positif dan bertanggung-jawab.
Saat di Madrasah aku suka diberi uang jajan dari orang tua. Uang itu aku tabung. Sekarang tabunganku lumayan bisa untuk memenuhi kebutuhan di kota selama 2 bulan.
Tujuanku yaitu Kelurahan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Di sana ada komplek perumahan kalangan menengah.
******
Sesudah subuh aku pamit kepada ayah dan ibu. Ayah Ibu mengantarku dengan doa dan nasihat agar aku bisa menjaga diri.
Alhamdulillah doa restu orang tua memberi energi khusus kepadaku untuk mencari pengalaman dan tantangan.
Aku anak laki-laki terbiasa dengan perjalanan sendiri. Membawa tas gendong dan kardus berisi pakaian dan kebutuhan harian.
Aku naik bis menuju Jakarta. Butuh waktu 9 jam sampai ke sana.
******
Tiba di Terminal Kampung Rambutan sore hari. Oh ini Kampung Rambutan, gumamku. Nama terminal ini sudah dikenal dari sejak aku kecil namun baru sekarang aku menginjakkan kaki di sini.
Aku berdiri memandang jalan yang lebar, jalan layang tinggi, gedung-gedung, dan kendaraan berseliweran. Hatiku berbisik: “Apakah kamu mampu tinggal di sini? Apakah kamu bisa menyesuaikan hidup? Apakah kamu bisa punya teman, teman yang baik? Apakah betah betah tinggal di sini? Aku menghela nafas dalam-dalam.
“Aku bebas, mau pulang lagi oke, mau lanjut silahkan. Tanpa beban, yang penting sudah mencoba.”
*****
Aku sampai tujuan menjelang Maghrib. Yang pertama aku cari adalah Masjid. Pengalaman aku yang sering tidur di masjid kampung kini aku jadikan “jurus” juga di wilayah baru.
Sembari dzikir maghrib sampai isya, aku lihat suasana Masjid, aku cari pengurus Masjid untuk minta izin tidur di masjid satu malam saja. Lumayan menghemat anggaran hehe. Kalau mencari kos malam-malam kurang pantas dan untuk memilih tempat waktunya sempit.
Rencanaku besok mau cari tempat kost yang murah untuk satu bulan dan bisa diperpanjang. Alhamdulillah pengurus Masjid berbaik hati memberi aku izin menginap di Masjid untuk satu malam saja.
Awalnya kelihatan dari sinar mata pengurus seperti menaruh kecurigaan padaku, mungkin itu kewaspadaan saja mengingat banyaknya angka kriminalitas perkotaan. Ujarku dalam hati: “Wajar belum kenal, nanti kalau sudah kenal bisa akrab sendiri kok.”
******
Selesai shalat isya, aku duduk di beranda Rumah Allah. Senang ya kalau di kota banyak orang jualan, lampu kerlap kerlip dan ramai orang hilir mudik.
Aku beli semangkok bakso dan memakannya dengan lahap. Terasa lezat sekali baksonya, mungkin karena aku lapar.
Sesudah itu, aku gelar kain sarung untuk tikar di lantai Masjid; tak berapa lama tidur pulas karena kecapaian dan perut sudah terisi.
Jam 04.00 aku sudah bangun dan bersih-bersih. Sebetulnya aku ingin adzan namun tidak berani. “Belum saatnya” Kataku dalam hati.
Jakarta gerah, subuh saja badan sudah keringatan. Aku sengaja bawa pakaian yang tipis dan sejuk. Maklum, di desaku dingin sebab di lereng gunung Ciremai. Panasnya jakarta sudah aku antisipasi sehingga aku bisa tetap nyaman.
*****
Setelah tanya sana-sini aku menemukan kost yang harganya murah dan Alhamdulillah dekat Masjid.
Kalau kata orang, tinggal dekat masjid itu sering terganggu speaker, kalau aku justru sangat suka biar aku selalu diingatkan ibadah.
*****
Aku termenung di kost, aku mau apa di sini. Cari kerja belum ada kenalan. Aku enggak bisa kerja fisik sebab tidak biasa. Hmm, mau ngapain ya?
Apakah aku perlu nongkrong di pos ronda? Biar punya kenalan baru? Nggak deh, takut salah teman, apalagi ini di perkotaan, sangat rawan.
Tipe orang kota sepertinya individualis, nafsi nafsi, elu elu, gue gue. Kalau kita mati pun nggak ada yang tahu dan tidak ada yang mau ngurus. Wara wirinya orang hanya tertuju cari uang bukan cari teman.
“Sudah, jangan melamun” Gumamku sambil memasak air hangat di cerek yang dipanaskan elemen untuk sekedar ngopi atau masak mie.
Harga makan yang mahal disiasati dengan roti dan puasa daud. Jadi, aku makan roti dan puasa daud di samping agar lebih dekat dengan Allah juga untuk berhemat (Sst ini rahasia dapurku). Tapi yang terpenting, aku sedang belajar taqarrub kepada-Nya. Hehe biar nilai ibadah nggak hapus lohh.
*****
Aku keluarkan kertas dan pulpen kemudian aku tulis besar-besar pesan dari ayah:
“KHAIRUN NAAS ANFA’UHUM LIN NAAS”
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH
ORANG YANG BERMANFAAT BAGI ORANG BANYAK”
Aku tempel tulisan besar itu di ruangan sambil bergumam: “Kalau tidak ditempel sebesar ini maka aku akan lupa, bukankah aku ini pelupa?”
******
Adzan ashar berkumandang. Aku langsung berangkat sebab sudah persiapan sebelumnya. Selesai shalat bertemu dengan pengurus Masjid yang dulu memberi izin aku menginap, namanya Pak Diki.
Ia bertanya: “Apakah kamu mau menginap lagi di sini?”
“Enggak Pak, terima kasih” Jawabku, “Saya sudah mendapat kontrakan.”
“Kamu kerja dimana?”
“Belum punya kerjaan Pak” Jawabku
“Rajin doa dan shalat, nanti kamu akan dimudahkan” kata Pak Diki
“Iya Pak, terima kasih” Aku bersyukur ada yang memberi nasihat indah buatku.
Inilah untungnya jika dekat dengan orang baik sehingga aku terbawa baik.
Dulu aku pernah dekat dengan orang nakal sehingga terbawa nakal. Kata dia, kalau enggak nakal dianggap tidak gaul. Payah deh bikin kasus melulu, bikin repot polisi saja.
******
Telah beberapa hari aku tinggal di sini. Aku isi dengan puasa. Roti aku siapkan untuk sahur. Ketemu makanan nasi saat berbuka. Aku isi hari dengan membaca Al Quran, tadarus, meski bukan Bulan Ramadhan.
Harusnya baca Al Quran tiap hari di semua bulan, tidak hanya Ramadhan. Iya, kini aku paham itu. Sebelumnya yang aku tahu bahwa tadarus hanya di bulan suci, itu pun rajin hanya di awal bulan saja.
*****
Pandangan mataku tertuju ke dinding kos melihat tulisan besar pesan ayah :
“KHAIRUN NAAS ANFA’UHUM LIN NAAS”
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH
ORANG YANG BERMANFAAT BAGI ORANG BANYAK”
Aku bicara sendiri: bagaimana caranya Aku bisa ngasih ke orang lain. Aku belum punya kerja. Uangku hanya cukup untuk makan, itu pun terbantu dengan Puasa Daud.
Mungkin jika aku punya uang sekarung aku sudah bisa kasih bahagia orang se kampung.
Aku tatap terus tulisan itu.
Otakku berputar bagaimana cara melaksanakan nasihat ayah. Sebab kalau harus menunggu punya uang sekarung mau sampai kapan?! Bahkan uang punyaku yang hanya beberapa lembar pun makin berkurang jumlahnya, warnanya pun mulai berubah dari warna merah menjadi warna hijau.
“Allah akan beri jalan, Aamiin” Kataku sebagai doa.
Tak berapa lama adzan subuh berkumandang. Aku menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari kost.
*****
Selesai subuh aku isi dengan baca Al Quran sampai jam enam pagi. Kemudian aku duduk di teras masjid. Menyelonjorkan kaki terasa nyaman setelah ditekuk.
Sambil memijit-pijit kaki aku melihat beberapa sandal tak terpakai dibiarkan berantakan di tepi teras masjid.
Spontan aku menghampirinya dan aku bereskan sandal-sandal itu. Yang ukuran sandalnya sama dipasangkan atau susunan warnanya diserasikan.
Aku lihat kini deretan sandal bekas itu menjadi enak dipandang. In sya Allah nyaman juga dipakai wudhu bagi orang yang memerlukan sandal.
Aduhai aku dapat ide, bahwa dengan merapikan sandal-sandal jamaah maka aku akan dapat membahagiakan orang banyak. Aku teringat dengan pesan ayah:
“KHAIRUN NAAS ANFA’UHUM LIN NAAS”
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH
ORANG YANG BERMANFAAT BAGI ORANG BANYAK”
Alhamdulillah !
Yess aku paham !
Aku bisa !
Allah telah kabulkan doa, sudah memberi petunjuk bagaimana agar aku bermanfaat bagi orang lain tanpa harus keluar uang (sebab uangku baru bisa untuk bayar kost saja).
Memberi bahagia kepada orang-orang tidak harus menunggu punya uang sekarung, melainkan dengan merapihkan sandal-sandal jamaah berarti aku sudah mampu memberi bahagia bagi mereka.
Sejak itu, ketika selesai shalat berjamaah, setelah sunah sebentar, aku buru-buru menuju halaman Masjid untuk menjejerkan sandal jamaah dengan rapi dan enak dipandang.
Terpesona hatiku ketika jamaah tersenyum di saat melihat sandal-sandal mereka rapih terpajang siap dipakai.
Aku faham sekarang bahwa berbuat baik tak harus menunggu kaya. Melainkan kuncinya terletak pada kaya hati.
*****
Aku menemui Pak Diki minta izin pinjam alat pel tempat wudhu. Rencana aku mau membersihkan tempat wudhu. Pak Diki senang dan berterima kasih.
Jam 07.00 pagi, aku membersihkan tempat wudhu dan toilet masjid. Entah kenapa hatiku menjadi sejuk. Air yang keluar dari keran semakin menambah sejuknya hidup.
Aku semangat membersihkan toilet Masjid menjadi “kinclong” dan anehnya hatiku ikut-ikutan sejuk dan kinclong. Aku tersenyum ternyata bahagianya hati jika kita membahagiakan orang lain.
Tempat wudhu dan kamar mandi menjadi bersih, aku pun gembira. Semua orang memanfaatkan tempat wudhu maka berarti aku telah memberi manfaat untuk orang banyak.
Aku teringat nasihat ayah bahwa orang terbaik adalah ia yang memberi manfaat bagi orang banyak.
Aku pulang ke kost dengan hati gembira. Sebab aku sekarang tahu bagaimana caranya memberi bahagia kepada orang banyak.
Dalam setiap doa aku selalu memohon agar aku berguna bagi masyarakat. Harapanku bahwa setiap orang yang kutemui berkenan dan bahagia dengan kehadiranku.
******
Kini, aku telah memperoleh jalan untuk jihad fi sabilillah, yaitu merapikan sandal tiap selesai shalat 5 waktu dan membersihkan tempat wudhu. Alhamdulillah, aku memperoleh kepuasan batin, kesejukan hati, dan kefahaman bahwa apa yang aku lakukan ini dapat memberi kebahagiaan untuk orang satu wilayah.
Dari lubuk hati tersembul sebuah semangat dan kepuasan batin yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Ada dorongan yang sangat kuat dari dalam diri untuk berbuat kebaikan yang lebih lagi.
Ajaibnya lagi, suasana kota mendadak seperti suasana kampung, maksudnya hatiku terasa sangat sejuk. Orang-orang banyak tersenyum memandangiku sehingga membuat aku sangat nyaman dan berpikiran jernih.
“Oziel…” Ada orang yang memanggilku lirih. Aku tersadar dari lamunan, ternyata Pak Diki ada di sampingku.
“Oh iya Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Nggak ada…”
“Jamaah di sini sangat salut kepadamu Oziel. Kamu rajin dan Ikhlash merapikan sandal dan membersihkan toilet sendirian. Kamu tidak mengharap imbalan sepeser pun”
Lanjut Pak Diki : “Kami salut padamu. Dan jamaah di sini banyak yang mendoakan kamu dalam kebaikan.”
“Aamiin ya Allah” Jawabku sambil menengadahkan kedua tangan dengan khusyu.
“Terima kasih Bapak atas doanya, doa itulah yang sangat saya harapkan.”
“Jamaah dan para malaikat ikut mendoakanmu” kata Pak Diki dengan suara yakin.
“Aamiin ya Rabb” Hatiku bergemuruh
“Oh iya Oziel” Pak Diki melanjutkan perkataannya
“Nanti sesudah ashar ikut tahlil ya di rumah Pak Ahmad”
“Baik Pak” Jawabku
“Kemudian sesudah Maghrib tahlil di Pak Yusuf dan sesudah Isya tahlil di rumah Bu Agung, kamu hadir ya nanti Bapak masukkan di list jamaah Masjid Al Huda”
“Baik Bapak”
******
Jam 21.00 aku pulang ke kost dengan membawa 3 kantong penuh makanan. Aku bahagia sebab bisa silaturahmi dengan warga sekitar dan berkirim doa untuk keluarga mereka. Bisa tegur sapa dan berkenalan dengan orang-orang. Sesuatu yang tak ku duga bisa ditemukan di kota metropolitan yang kata orang serba individualistik dan materialistik.
Aku pandangi makanan yang banyak di hadapanku. Aku dapatkan tanpa harus beli. Padahal kata orang bahwa di kota itu segala serba beli, bahkan ke tempat kencing pun harus bayar. Namun kenapa aku mendapatkan makanan ini gratis bahkan tadi tuan rumah memaksaku untuk mengambil makanan lagi!
Kata orang, di kota kencing pun bayar namun aku nggak bayar, minum air putih ditawarin di masjid.
Kata orang, di jakarta itu tak saling tegur sapa, kalau aku selalu disapa orang-orang (jamaah).
Kata orang, di kota itu sesak, namun aku melihatnya lapang. Lihat masjid Istiqlal yang begitu besar namun jamaahnya sedikit, bukankah jakarta itu lapang.
Semua anggapan orang seperti itu karena mereka jauh dari Masjid. Sebab jika dekat dengan Rumah Allah maka kita akan diberi kesejukan dan hati lapang dari-Nya.
******
Kata orang, mungkin aku pengangguran sebab belum kerja. Namun aku ini sebetulnya sibuk dengan banyak pekerjaan dan masih banyak pekerjaan lain yang belum digarap.
Inilah daftar pekerjaanku: Shalat berjamaah, shalat sunah, sahur, puasa sunah, tadarus Al Quran berkali-kali, merapihkan sandal jamaah 5 kali setiap hari, membersihkan tempat wudhu, menghadiri kajian-kajian keislaman, tahlil, dan maulid.
Bukankah itu pekerjaan? Bukankah ada orang yang punya harta banyak namun belum mampu mengerjakan pekerjaan di atas?
Apa penyebabnya? Dimana letak masalahnya?
Ada orang miskin, ia beralasan belum bisa ibadah sebab masih mencari makan dulu, kemudian orang kaya belum sempat ibadah sebab tenggelam dalam urusan yang banyak.
Kataku dalam hati: “Akan sadar kalau sudah masuk liang lahat. Jika sudah mati ia akan teriak-teriak ‘Ya Allah kembalikan aku ke dunia maka aku berjanji akan full ibadah pada-Mu”
Gombal !
“Jangan menilai orang lain” gumamku. “Nilailah dirimu sendiri”
“Kamu itu banyak dosa, sering riya, sombong, malas ibadah. Kapan kamu berbuat baik. Kamu belum pernah berbuat baik, kalaupun mengerjakan selalu diiringi riya dan mengharap dunia” Aku menunjuk diriku sendiri.
Astaghfirullahal ‘adhziim
*****
“Mas, bolehkah saya ikut membereskan sandal-sandal ini?”
Saya yang sedang asyik merapihkan sandal jamaah langsung menengok datangnya suara: “Oh iya silahkan Kak.”
Iya menyodorkan tangan mengajak jabat tangan: “Perkenalkan saya Rido.”
Saya langsung menjabat tangannya: “Saya Oziel, senang bertemu denganmu Rido”
Rido menemaniku merapihkan sandal jamaah.
Saat shalat berjamaah usai aku dan ridho duduk sambil ngobrol. Kami berdua langsung nyambung saat berbicara.
Seputar berbuat baik dan memperbaiki diri. Aku merasakan dari obrolan itu seperti pengajian bahkan komunikasi bisa dua arah.
Rido mengajak aku tadarus bersama. Shalat dhuha. Puasa senin kamis. Kami pun berdua membersihkan toilet Masjid.
Oh iya, Rido bekerja sebagai apotik. Jika ia selesai kerja suka menemaniku setiap selesai shalat.
Aku senang bisa bertemu dengan Rido bisa sharing ilmu agama, saling menasihati, mengingatkan dan mengajak amal ibadah.
Bertemu teman di masjid sangat bagus, kalau bertemu di jalanan itu rentan kriminalitas.
******
Setiap pagi, aku biasa bersih-bersih toilet Masjid. Kalau sudah kinclong aku senang sekali, hatiku sejuk dan hidup terasa amat nyaman dan penuh makna.
Saat aku mau pulang ke kost, di pintu keluar sudah ditunggu Pak Diki.
Pak Diki menghampiri saya dengan wajah ceria kemudian memeluk saya.
“Oziel selamat ya. Ada kabar gembira untukmu” kata Pak Diki.
Aku tersenyum ceria sambil bertanya-tanya dalam hati apakah gerangan kabar gembira yang dimaksud.
“Oziel kamu akan diberangkatkan umroh oleh Pak Yunan.”
“Subhanallah, Allahu Akbar, apakah betul itu Pak” aku terpana seperti tak percaya mendengarnya.
“Iya betul. Pak Yunan takjub kepadamu masih muda, bahkan belum punya kerja, tapi sudah memiliki keinginan untuk membahagiakan orang-orang.”
Ujarnya: “Jarang ada orang yang mau merapihkan sandal dan membersihkan toilet tanpa imbalan, sesungguhnya sebaik-baik imbalan itu dari Allah.”
“Pak Yunan adalah jamaah aktif di sini, beliau punya travel haji dan umroh. Terketuk hati beliau kepadamu.”
“Oh iya,” kata Pak Diki : “Ada juga berita gembira lainnya.
“Iya Bapak” kataku.
Lanjut Pak Diki : “Ada yang menawari kerja ke kamu dari jamaah yang lain yaitu Pak Somad, mantan walikota mengajak kamu bekerja di perusahaannya.”
“Ada juga tawaran dari Dokter Hasan bekerja di poliklinik.”
“Kamu juga diajak oleh Haji Irfan, Camat Pulogadung, kerja di Kantor Kecamatan.”
“Mereka semua jamaah aktif di sini sehingga sangat mengenal kamu.”
“Allahu Akbar” Jawabku sambil memeluk erat Pak Dicky.
Spontan, aku sujud syukur memuji keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
*****
Aku tidak sadar bahwa jamaah Masjid yang kelihatannya sangat sederhana dan bersahaja ternyata mereka adalah orang-orang hebat.
Aku sudah diajari oleh Allah SWT, Rasul-Nya, dan kedua orang tua bahwa hidup itu adalah bagaimana kita harus memberi manfaat untuk orang lain sesuai dengan bakat kita masing-masing.
Biarlah Allah SWT yang mengatur segala kebutuhan kita sebab Dia lebih tahu tentang apa saja karunia terbaik yang akan Dia berikan untuk.
Berbicara tentang hak dan kewajiban manusia kepada Sang Pencipta, maka yang harus kita lakukan adalah melaksanakan “kewajiban” kemudian Dia akan memberikan “hak” kepada kita.
Ketika kita bekerja ke majikan maka betapa bodohnya jika kita meminta gaji duluan padahal kita belum bekerja sedikit pun.
Padahal Allah SWT sudah memberikan rezeki yang banyak kepada manusia namun manusia belum juga mau melaksanakan kewajibannya. Kenapa?
Bukan kita sudah diberi banyak rezeki dari-Nya? Rezeki umur, sehat, nyawa, mata, telinga, hati, akal pikiran, karunia siang malam, dan masih banyak rezeki yang lainnya.
Fabi-ayyi alaa-i Robbikumaa tukadzdzibaan
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Jakarta, 25 Maret 2020
Comment