Karya :
Dudi Akasyah
sakinah2007@gmail.com
πππππππ
Perkenalkan namaku Mustofa. Aku santri di Pesantren Nurul Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Aku belajar Kitab Safinah (Safinatun Najah), Kitab Sulam Taufiq, Kitab Imriti, Bulughul Maram, dan Kitab yang lainnya. Umurku 17 tahun, kata orang sweet seventeen. Setiap hari aku mengaji kitab kuning, khususnya usai shalat lima waktu.
Aku suka sekali pidato meniru gaya Zainudin MZ, gaya AA Gym, gaya Uje, atau “gaya bebas.” Namun seringkali gaya itu hanya aku tunjukan di depan cermin.
Pikirku, aku juga bisa tampil di TV seperti mereka. Tetapi sayang, mereka tidak tahu siapa aku. Namun di sisi lain, aku juga sering pesimis, galau.
Jangankan tampil di TV, oleh teman-teman saja pidatoku sering diledek. Kata mereka pidato aku dalilnya sedikit. Ya diakui, memang aku ini malas untuk menghafal, pidatoku spontanitas saja.
Tetapi aku membela diri, yang terpenting aku tidak grogi tampil di depan orang banyak. Berani bicara di depan umum sudah sangat baik, demikian alasanku.
Beberapa kali pesantren mengadakan lomba dai atau pidato. Sesering itu pula aku mengikutinya. Namun, namaku tak pernah dipanggil sebagai juara, walaupun hanya juara harapan. Aku selalu kalah. Aku akui teman-temanku bagus cara penyampaiannya, sedangkan aku mungkin belum saatnya juara, atau…mungkin aku tak akan pernah juara.
Pernah suatu saat, ada acara lomba yang hanya diikuti dua orang, termasuk aku. Aku girang bukan kepalang, pikirku βaku pasti dapet juara keduaβ atau paling apes juara tiga, tokh pesertanya juga hanya dua orang. Tetapi, apa mau dikata, panitia memutuskan untuk membatalkan lomba. Ukh lagi-lagi aku gagal menjadi juara. Seringkali aku tertawa sendiri sambil menghibur diri, malu kalau bersedih nanti dilihat oleh teman-teman.
******
Suatu waktu, saat pulang dari acara Maulid Nabi di Kemayoran, aku ketinggalan rombongan. Alhamdulillah, aku membawa uang sehingga cukup untuk ongkos.
Saat menyetop metromini, tiba-tiba ada sedan berhenti. Di dalamnya ada orang tua umur 70 tahunan. Ia sepertinya ingin membantuku: “Dik mau kemana?” Jawabku: “Mau ke Pesantren di Cempaka Putih Timur Pak.” Si Bapak mengajak: “Ayo ikut, nanti Bapak antar.” Aku bersyukur dan masuk ke mobil. Mobil berjalan pelan sebab jalanan macet.
“Kenalkan nama saya Rustam” Bapak itu memperkenalkan diri. Aku yang masih terdiam kaget, sebab seharusnya aku yang harus lebih dulu memperkenalkan diri sebab aku lebih muda. Jawabku: “Iya Bapak, perkenalkan nama saya Mustofa.”
Sambil mengisi waktu di tengah kemacetan jalan Jakarta, Pak Rustam bercerita tentang dirinya. Katanya, ia bukan orang yang taat, shalat masih blentang-blentong. Saat ini ia belum rajin shalat 5 waktu, yang rutin hanya shalat Jumat saja.
Dia berbicara panjang lebar tentang kondisi umat Islam jaman sekarang. Katanya: “Para ustadz belum bisa menjadi panutan. Yang mereka pikirkan bukan umat tetapi amplop.” Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda menyimak.
Pak Rustam juga mengkritik para ustadz yang dinilainya telah banyak yang menyalah-gunakan agama untuk kepentingan pribadi. Ia berkata dengan nada tinggi, mungkin karena ia melihatku berpakaian layaknya calon ustadz yaitu berpeci, koko, kain sarung, plus selendang sorban.
Lanjut Pak Rustam: “Ustadz sekarang hanya mau ceramah di depan majlis-majlis taklim atau rebutan jadwal di masjid-masjid besarβ
βJamaah majlis taklim itu kumpulan orang baik sehingga pantas jika mereka menjadi orang baik. Oleh sebab itu karakter jamaah yang sudah baik bukan karena prestasi ustadznya” katanya.
Aku serius menyimak perkataan Pak Rustam. Pikirku, betul juga apa yang dia katakan. Dia melanjutkan pembicaraan: “Ustadz yang hebat itu bukan yang mengajarkan ilmu di berbagai majlis taklim, tetapi…”
Ia berhenti bicara. Kemudian tangannya menunjuk ke suatu arah: “Orang yang hebat adalah yang mau mengajari…anak-anak itu” kata Pak Rustam sambil menunjuk ke arah anak-anak jalanan. Kebetulan pada saat itu mobil melewati perempatan Cocacola.
Tampak jelas terlihat banyak anak jalanan di sana. Ada anak sedang mengamen membawa “kecrek.” Ada yang membawa moceng. Sebagiannya berlarian mengejar metromini menjajakan dagangan. Di bawah kolong jembatan banyak anak jalanan tidur bergeletakan.
Berapi-api Pak Rustam berkata: “Ustadz yang hebat adalah yang mau mengajari anak-anak itu”. Aku diam seribu bahasa. Kata-kata Pak Rustam sangat tajam menghujam sehingga membuat aku terhenyak sadar.
Tanpa terasa mobil sampai ke tempat tujuan. Kataku: “Pak, alhamdulillah sudah sampai.” Mobil berhenti tepat di jalan masuk menuju pesantren. Aku bermaksud memberi uang ongkos namun Pak Rustam menolak dengan halus: βAku niat menolongmu, silahkan gunakan uang itu untuk kebutuhan kamu.β Aku mengucapkan terima kasih ke Pak Rustam, aku doakan semoga dia diberikan rezeki yang banyak oleh Allah Taala, amin.
*****
Mobil pun berlalu, aku berjalan menuju pesantren. Perkataan Pak Rustam tentang “Ustadz yang hebat adalah yang mau mengajari anak jalanan” sangat membekas di hati sanubari.
Aku memang bukan seorang ustadz, tetapi sebagai santri aku memiliki tanggung-jawab memberi ilmu kepada anak-anak yang kurang beruntung.
Aku berkata di dalam hati: “Insya Allah, hari sabtu pagi akan ke perempatan jalan itu.” Sesampai di pesantren aku melanjutkan kegiatan mengaji sebagaimana mestinya.
******
Aku membeli buku iqra ke koperasi pesantren. Kata petugas koperasi: “Lho, kok kamu membeli iqra, bukan membeli kitab-kitab pelajaran.” Aku menjawab: “Kitab-kitab pelajaran sudah punya, aku membeli Iqra untuk mengajar anak jalanan.” Petugas itu termenung sambil menatapku. Aku tidak tahu apakah terdiamnya dia karena kagum atau ekspresi kurang setuju.
Kemudian aku menemui teman dekat di pesantren, namanya Johan. Dia orangnya penurut, nggak banyak bicara dan suka diajak berbuat baik.
Kataku: “Jo, ikut aku yuk. Sabtu pagi aku akan ke perempatan cocacola mau menemui anak jalanan. Aku mau mengajar ngaji mereka. Ikut aku ya Jo, biar ada teman nih.” Pintaku.
“Iya baik, insya Allah.”
Aku bersyukur sebab Johan bersedia menemaniku.
Kemudian aku berpapasan dengan teman lainnya bernama Darusman.
“Man, ikut aku ya ke perempatan Cocacola.”
Katanya: “Wah, di sana tempat rawan Mus, banyak anak jalanan, pencopet, dan tukang jambret.” Aku menjawab penuh semangat: “Justru itu, aku akan mengajari iqra anak-anak jalanan.”
Darusman tertawa: “Apa katamu? Mau mengajar ngaji anak jalanan? Haha, mereka nggak butuh ngaji, yang mereka butuhkan duit atau sembako. Para pengemis itu tidak butuh iqro tetapi butuh sembako, kamu ada-ada saja” kata Darusman mengejek.
Aku tidak terpancing untuk berdebat dengan dia sebab yang aku butuhkan dari dia adalah apakah mau ikut menemaniku atau tidak. Jika tidak, Johan juga sudah cukup untuk menemani ke sana.
Aku berkata dalam hati bahwa aku akan mengubah cara berpikir kebanyakan orang (seperti contoh si Darusman tadi).
Yang terpikir oleh orang-orang, jika mereka akan menemui anak jalanan, pemulung, atau pengamen adalah dalam rangka pembagian sembako.
Padahal bukankah acara memberi sembako hanya dilakukan sewaktu-waktu saja? Seringkali hanya bersifat seremonial. Apalagi jika saat pilkada, para calon legislatif berlomba menebar sembako, setelah itu…senyap.
Bagiku tidak! Aku bisa memberi kepada mereka, anak jalanan, yaitu berupa pemberian ilmu, santunan ilmu, sembako ilmu, meski hanya mengajari iqra 1, iqra 2, atau iqra 3. Aku teringat sabda Nabi SAW “Balighu ‘annii walau aayat” sampaikan dariku meski hanya satu ayat!
Menurutku, orang yang mau memberi ilmu maka ia selamanya akan mampu βmemberi,β sebab pemberian ilmu tidak akan pernah habis! semakin ilmu itu diberikan maka ia akan semakin bertambah. Namun jika memberi sembako belum tentu bisa rutin, di samping itu pemberian sembako membutuhkan biaya besar, untuk ukuran aku belum mampu. Untuk kebutuhan bulanan di pesantren saja aku pas-pasan.
*******
Aku menepati janjiku sendiri, di hari sabtu setelah selesai subuh berjamaah yang dilanjutkan mengaji Kitab Sulam Taufiq, aku bersama Johan meminta izin keluar ke petugas jaga Pesantren. Setelah memperoleh izin, kami berjalan kaki menuju ke Perempatan Cocacola, sebab aku dan Johan tidak punya sepeda, apalagi motor. Di tanganku ada beberapa iqra dan uang pecahan 1.000 sebanyak lima lembar, sejumlah Rp 5.000.-
Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan jalan kaki untuk sampai ke perempatan Cocacola.
Jalanan mulai ramai, apalagi yang namanya perempatan jalan. Suara gemuruh berbaur dari knalpot sepeda motor, suara mobil, dan bunyi klakson. Suaranya memekakan telinga. Di atasnya terdapat jalan layang (fly over) yang membuat jalanan di bawah gelap, pengap dan pantulan suara kendaraan terdengar lebih bising.
Entah kenapa, hati aku ikut bergemuruh, bertalu-talu… aku gentar dengan suasana yang ada. Apalagi di seberang jalan ada pos polisi dengan motor trail yang berjejer, aku takut dimarahi atau disangka orang yang bermaksud tidak baik.
Aku dan Johan duduk termangu di trotoar. Suara ramai jalanan menabuh hati yang masih asing dengan suasana itu. Aku bergumam: “Apakah aku bisa mengajar iqra untuk anak jalanan di sini…”
Terkadang muncul bisikan ke dalam hatiku untuk membatalkan rencana tersebut. Namun aku tak bergeming dari tekad semula.
******
Aku memandang ke semua penjuru perempatan, melihat anak jalanan mulai berdatangan. Ada yang berselendang kantong, membawa kresek hitam, atau membawa gitar kecil. Ada anak datang sendirian, ada juga datang bersama teman sebaya, dan ada juga anak-anak yang diiringi oleh ibu tua.
Aku menghela nafas dan memutar otak bagaimana caranya mendekati mereka? Hari semakin siang. Jalanan makin ramai. Aku belum tahu bagaimana harus memulai sembari menoleh ke Johan:
“Jo bagaimana ya agar kita bisa mendekati anak-anak itu?”
Johan berkata: “Aku tidak tahu Mus.”
Hmm… jika kebanyakan mikir, maka hari semakin siang. Di Jakarta kalau siang, terik matahari panasnya bukan main.
Aku pun berdiri, kemudian memberanikan diri melambaikan tangan ke arah anak jalanan di seberang jalan. Usia mereka antara 5-8 tahunan. Tak dinyana, anak-anak berlarian menuju ke sini. Jumlahnya 4 anak. Aku gembira dan mengajak anak-anak itu ke bawah pohon biar agak teduh.
Aku bertanya pada salah seorang anak: “Adik agamanya apa?” Si anak bingung, kemudian ia dengan ragu menjawab:
“Cina…” Aku terheran-heran. Tanyaku lagi: “Adik kalau bulan puasa suka ikut puasa nggak?…” Jawabnya: “Iya, aku suka ikut” Alhamdulillah, berarti mereka Muslim sehingga aku dapat mengajar ngaji kepada mereka.
“Dik, kita baca iqra ya, nanti kakak kasih uang Rp 1.000 per orang,” pintaku.
Anak-anak mau. Kemudian aku dan Johan mengajarinya. Anak-anak lain berdatangan, maklum yang namanya anak-anak suka kerumunan. Kami asyik mengajari mereka. Tiba-tiba ada orang berteriak: “Hai kalian sedang apa di sini? Sekarang waktu nyari duit, bubar!”
Aku kaget, demikian juga Johan. Kami yang sedang duduk bersila tengadah mencari arah suara. Aku lihat ada seorang ibu gendut bermuka ketus. Dia menggiring anak-anak agar menjauh dari kami, menyeberang jalan dan kembali berlarian ke tempat mangkalnya masing-masing. Ada rasa pesimis menyelinap dalam hati: “Bisakah aku mengajar ngaji anak-anak itu…”
Aku amati terus ibu gendut yang teriak-teriak tadi. Maksudku, biar aku hafal orangnya, siapa tahu nanti aku memiliki ide.
Tantangan di lapangan sangat berat: Suasana bising, polusi, panas terik, orang-orangnya tak bersahabat, pengemis, pengamen, dan pencopet berkeliaran.
Aku menoleh ke Johan: “Kita pulang yuk, insya Allah sabtu depan kita ke sini lagi.” Kami beranjak dari perempatan. Alhamdulillah ada Johan yang menemaniku sehingga aku bisa tegar di medan dakwah yang benar-benar menguji nyali.
*******
Sabtu depannya kami berangkat lagi ke perempatan, mengajak anak-anak membaca iqra. Pengajaran dilaksanakan di kolong jembatan. Pengajian berlangsung selama 30 menit, setelah itu pengajian ditutup kemudian anak-anak kami beri uang masing-masing Rp 1.000.- sebagai ganti waktu mengamen.
*******
Sebagaimana biasanya, sabtu pagi, kami menuju ke perempatan Cocacola. Setelah seminggu tidak ke sana, aku fresh kembali, semangatku muncul lagi. Sesampainya di sana, aku cari ibu gendut: “Dia belum datang ” Gumamku. Aku berkata kepada Johan: “Kita jangan bergerak dulu. Aku mau menemui Ibu Gendut.” “Baik Mus” Jawab Johan.
Tak lama kemudian, Ibu Gendut datang, ia menggiring tiga anak yang usianya antara 5 sampai 9 tahun. Aku dekati dia.
“Permisi Ibu”
Ia menolehku dan berkata ketus: “Mau apa?”
Jawabku: “Kami ingin membantu Ibu dan anak-anak ini.”
“Boleh, tetapi jangan disini.”
” Baik Ibu. Bolehkah sore nanti kami berkunjung ke rumah Ibu?”
“Iya silahkan”
“Maaf, rumah Ibu dimana?”
Si Ibu menunjuk ke suatu arah:
“Di sebelah sana, di pedongkelan. Dekat danau Ria-Rio.”
Aku melihat arah yang ditunjuk Ibu Gendut, tampak dari kejauhan pemukiman kumuh Pedongkelan.
“Baik Ibu, nanti aku ke sana. Maaf nama Ibu siapa?”
“Markonah” Jawabnya pendek.
“Perkenalkan namaku Mustofa, dan ini temanku Johan.”
*******
Sore hari kami kembali ke perempatan Cocacola menemui Bu Markonah. Dia bersama tiga anaknya bersiap-siap pulang. Kata Bu Mar: “Kak Mus, ini anak-anakku. Yang paling besar namanya Atin, kedua Bella, dan yang paling kecil Basir.
Mereka anak yatim, bapaknya meninggal 3 tahun yang lalu.” Mendengar hal itu kami sedih.
Sebagaimana janji tadi pagi, ia mengajak kami ke rumahnya. Kami mengikutinya dari belakang. Jarak dari perempatan ke rumah di Pedongkelan sekitar 500 meter.
Kami memasuki kawasan kumuh Pedongkelan, tempat Bu Mar tinggal. Tumpukan sampah tampak di sebelah kiri dan di bagian kanan ada kali yang dijejali sampah.
Berkali-kali aku hampir muntah oleh karena bau tak sedap. Kami terus mengikuti Bu Mar dan ketiga anaknya menyusuri gang kecil yang gelap. Di kanan kiri berderet gubuk-gubuk terbuat dari seng dan triplek bekas.
Di gang tampak banyak orang sedang duduk, anak-anak kumal bermain sambil berkata-kata yang tak pantas diucapkan, terlihat juga banyak perempuan bertato (apalagi laki-lakinya), tangan mereka banyak bekas irisan akibat candu narkoba.
“Inilah rumah kami…” kata Bu Markonah. Terlihat di hadapanku sebuah gubuk kecil tempat tinggal Bu Mar. Tingginya sekitar 1,5 meter, tinggi pintu hanya 1 meter sehingga kami harus membungkuk saat memasuki rumah.
Sesampainya di dalam rumah, Bu Mar menggelar tikar menutupi lantai tanah.
“Silahkan duduk Kak.”
“Terima kasihβ kata kami sambil duduk.
Gubuk Bu Mar terbuat dari triplek, seng, dan kayu bekas. Ukurannya sekitar 2×3 meter.
Bu Mar duduk ditemani anaknya Atin, Bella, dan Basir, ketiga anak ini sehari-harinya mengamen di Metromini.
Kemudian aku memberi uang ketiga anak ini, masing-masing seribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit sebenarnya, tapi aku bisanya hanya itu. Mereka mengucapkan terima kasih.
Kataku: “Ibu, bolehkah kami mengajari iqra kepada Atin, Bella, dan Basir?”
“Boleh silahkan.”
Aku dan Johan mulai mengajari iqra. Anak-anak itu masih belum bisa iqra sama sekali.
Pengajian berlangsung sekitar 15 menit.
“Adik-adik semuanya pintar” aku memuji mereka agar nanti mau mengaji lagi.
“Nanti sabtu depan kita mengaji lagi ya?”
“Iya Kak” jawab mereka senang. “Ajak juga teman-teman yang lain.”
Setelah itu kami pamitan ke tuan rumah dan berjanji akan datang lagi sabtu depan. Bu Mar sangat senang gubuknya menjadi tempat mengaji. Kami pulang dengan hati lega sebab telah menolong orang yang sangat membutuhkan kasih sayang.
Aku mempunyai rencana mengajar setiap sabtu sore, sepulangnya mereka dari perempatan.
*******
Sabtu sore telah tiba. Gubuk Bu Mar sangat ramai. Anak-anak yang hadir mencapai 75 orang! Mereka antusias ingin mengaji. Dengan jumlah sebesar itu kami tak bisa mengajar iqra. Tempat tak cukup menampung anak-anak sehingga lorong gang ikut dipakai. Beruntung, orang-orang sekitar mempersilahkannya.
Aku inisiatif berpidato di hadapan anak-anak. Bercerita tentang para nabi sebab umumnya anak-anak menyukai kisah-kisah. Sekitar 1 jam kami bercerita. Aku dan Johan bergantian pidato. Anak-anak terlihat senang mendengarkannya.
Setelah satu jam, acara pun selesai. Kami bersiap-siap pulang. Anak-anak berhamburan menuju kami ingin bersalaman: “Terima kasih Pa Ustadz…”
Kami senang bercampur haru. Johan berbisik kepadaku: “Hehe, baru kali ini aku dipanggil Ustadz.” “Aamiin” Kataku gembira. Ada anak yang memanggil kami dengan sebutan “ustadz” ada juga yang memanggil “ustaz, ustass, ustar, dan ustak.” Hehe panggilan yang sangat lucu yang akan menjadi kenangan hidup.
Kami pulang diantar lambaian anak-anak. Sungguh terharu. Mereka yang rata-rata pengamen, pemulung, dan pengemis dapat memberiku kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
******
Sesampainya di pesantren, aku lebih semangat mengajak teman-teman agar bergabung untuk mengajar anak jalanan. Demikian juga Johan mengajak teman-temannya.
Hasilnya, teman kami yang ikut mencapai 15 orang. Ada diantara mereka yang mau membawa bingkisan untuk anak jalanan.
******
Saat tiba di Pedongkelan kami disambut oleh anak-anak yang jumlahnya mencapai 150 orang. Mereka berebut salaman kepada kami.
Pengajian dilaksanakan secara meriah, kulihat teman-temanku antusias mengajari anak-anak.
Seusai pengajian, kami kembali ke pesantren dengan hati gembira dan semangat membuncah. Teman-temanku berjanji akan ikut lagi minggu depan.
******
Sabtu berikutnya, anak-anak jalanan yang hadir sekitar 200 orang. Adapun teman-temanku yang ikut mencapai 50 orang. Ada beberapa teman yang membawa sembako dan membawa puluhan iqra. Ada juga teman yang membawa sponsor dari Extra Joss mengantarkan bantuan berupa minuman ringan dan beberapa dus buku tulis. Pengajian berlangsung meriah.
******
Informasi tentang kegiatan aku mulai menyebar di kalangan pesantren. Pada suatu hari, Ustadz Haji Sarkosi, beliau adalah Pengurus dan Dewan Asatidz, memanggilku ke ruang Dewan Asatidz.
Katanya: βMustofa, Mama Kyai Haji ingin bertemu denganmu.β
Aku kaget, terkesima dan haru sebab Mama Kyai, sesepuhnya para ulama yang memiliki pesantren besar yang santrinya ribuan ingin bertemu denganku.
“Baik Pak Ustadz,β Kataku.
Aku bergegas mengikuti Ustadz Haji Sarkosi menuju rumah Mama Kyai yang rumahnya berdekatan dengan gedung utama Pesantren.
******
Aku gemetar sebab ulama yang sangat aku hormati ada di hadapanku.
“Assalamu ‘alaikum,” kataku sambil mencium tangannya yang sejuk.
“Wa alaikum salaam” jawab Mama Kyai dengan suara lirih penuh karomah.
“Silahkan duduk”
“Terima kasih Mama”
Aku dan Ustadz Haji Sarkosi duduk dengan tenang dan penuh takzim.
Mama Kyai membuka pembicaraan “Apa kabar Mustofa?”
Hatiku gemuruh sebab baru kali ini namaku disebut oleh Mama Kyai, padahal seumur hidup namaku belum pernah disebut oleh orang besar, apalagi oleh Mama Kyai.
“Alhamdulillah Mama” jawabku tertunduk.
“Begini, mama telah mendengar tentang perjuangan kamu kepada anak-anak jalanan. Perjuanganmu sangat bagus untuk dicontoh, memberi inspirasi, tidak hanya bagi para santri, namun juga bagi umat Islam.”
“Berdasarkan hal tersebut, Mama memohon kamu untuk memberikan pidato pada acara Haul Pesantren yang insya Allah akan dilaksanakan bulan depan.”
Mendengar perkataan Mama Kyai, jantungku seakan berhenti. Aku seperti bermimpi mendengar apa yang disampaikan beliau. Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar tetapi ini adalah kenyataan. Aku sangat gembira. Betapa tidak, haul pesantren merupakan acara yang sangat besar di lingkungan Pesantren Nurul Islam.
“Mustofa, saat pidato nanti, kamu sampaikan perjuanganmu mengajar ngaji anak jalanan. Mama sudah sering menyaksikan murid-murid juara pidato, namun murid mama yang mampu menemukan terobosan yang berani dan menyentuh hati, baru kamu, agar semua hadirin tersadar.” Kata Mama Kyai.
“Mulai sekarang silahkan kamu persiapkan materi pidato dengan sebaik-baiknya” Kata Mama Kyai.
Didampingi Ustadz Haji Sarkosi, kami undur diri dari hadapan Mama Kyai. Di perjalanan Ustadz Sarkosi memeluk aku dan mengucapkan selamat: “Kamu beruntung Mustofa, diberi waktu berpidato di dalam acara besar, persiapkan dengan sebaik-baiknya ya.”
“Baik Ustadz” kataku.
******
Acara haul pesantren merupakan acara bergengsi. Selalu penuh dihadiri ribuan santri, juga hadir para habaib, Bapak Gubernur, bahkan Bapak Menteri. Untuk event sebesar haul pesantren, baru kali ini ada santri yang tampil pidato, yaitu aku.
Sesampainya di kamar, aku sampaikan berita ini ke Johan dan teman-teman yang lain. Mereka kaget bukan main, terpana, bangga dan ikut bahagia; mereka memeluk aku satu persatu. “Selamat Mustofa. Belum ada santri di sini yang mendapat kehormatan seperti yang kamu terima, alhamdulillah.”
******
Hari yang ditunggu tiba. Pesantren semarak dan penuh kemeriahan. Para tamu undangan berdatangan di sambut para Pengurus dan Dewan Asatidz. Kedatangan mereka disambut meriah oleh rebana para santri. Para habaib satu persatu memasuki gedung utama pesantren, kemudian disusul kehadiran Bapak Gubernur dan Bapak Kapolda. Tak lama berselang, Bapak Menteri Agama hadir, mereka disambut oleh Ulama Sepuh dan Mama Kyai Haji.
*****
Acara dimulai. Sebagaimana biasa didahului pembacaan Ayat Suci Al-Quran. Kemudian diisi oleh beberapa sambutan. Ribuan hadirin menyimak dengan seksama. Selanjutnya Mama Kyai menyampaikan Sambutan dan Wejangan. Semua hadirin menyimak dengan serius dan khidmat.
Di penghujung pidato, Mama Kyai berkata: “Hadirin, kami mempunyai murid yang istimewa, perjuangannya patut dicontoh oleh kita semua, baik oleh para santri maupun oleh umat Islam pada umumnya. Kepada Ananda Mustofa silahkan naik ke atas panggung dan sampaikanlah pengalamanmu mengajar ngaji anak-anak jalanan…” Aku berjalan perlahan penuh hormat. Kemudian Mama Kyai mempersilahkan aku berbicara di depan hadirin.
Pandangan ribuan hadirin tertuju padaku. Aku berpidato tentang pengalaman mengajar ngaji anak-anak jalanan. Aku menyampaikan sebuah perumpamaan bahwa orang yang memiliki ilmu mungkin merasa bahwa ilmunya itu masih terlalu kecil dibandingkan ilmunya para santri senior atau bahkan para ustadz. Seperti seseorang yang memiliki lampu neon, ia merasa telah memiliki penerang yang sangat bercahaya. Namun, ketika dibawa ke supermarket bertemu dengan neon ribuan watt maka cahaya neon tak memberi pengaruh apa-apa. Apalagi jika ada orang yang membawa obor ke supermarket dengan tujuan ingin menjadi penerang maka tentu ia akan dianggap tidak waras atau ditertawakan banyak orang.
Akan tetapi, cobalah obor itu dibawa ke hutan gelap gulita, obor itu akan sangat bermanfaat dan banyak dicari orang. Demikian juga dengan kita para penuntut ilmu, jika kita ingin menjadi penerang maka datangilah orang yang sedang didera kegelapan atau kesulitan, misalnya datangilah tempat kumuh, bimbinglah anak-anak jalanan dan yatim piatu sebab mereka sangat membutuhkan kasih sayang dan bimbingan dari kita.
Kita jangan sampai kalah cepat dengan yayasan non Muslim yang sigap mendatangi tempat-tempat orang miskin. Ilmu kita sangat dibutuhkan oleh anak-anak jalanan. Kita sebenarnya memiliki ilmu, sekecil apapun ilmu itu, kemudian berikanlah untuk kaum dhuafa. Nabi SAW bersabda balighu ‘annii walau aayat, sampaikan dariku meski hanya satu ayat.
*******
Para hadirin tersentuh mendengar perjalananku bersama anak jalanan. Selesai pidato semua hadirin tepuk tangan. Bapak Menteri mengacungkan jempolnya, Bapak Gubernur mengajak bersalaman. Aku seperti bermimpi menyaksikan semua ini, alhamdulillah, terima kasih ya Allaah.
******
Acara haul telah usai, pengalaman tersebut akan aku kenang seumur hidup, ia akan selalu memompa semangat agar aku selalu memperhatikan kaum dhuafa.
Dahulu apabila ikut lomba pidato, aku kalah terus dari teman-teman. Tetapi melalui kepedulian kepada orang-orang miskin maka aku memperoleh penghargaan yang jauh lebih tinggi dari sekedar lomba pidato.
Pengalaman mengajar anak jalanan merupakan titik balik perubahan cara aku berpikir (paradigma berpikir). Tak disangka, terobosan ini mengantarkan aku dapat berpidato di hadapan orang-orang besar, Ulama besar, para Guru, dan para pejabat tinggi negara.
Dulu, jika aku melihat anak jalanan kumal maka aku memandangnya sebagai orang dari dunia lain. Namun kini jika aku melihat mereka maka aku berkata:
“Mereka adalah tanggung jawabku, tanggung jawab kita.”
Aku teringat, awalnya aku hanya ingin βmemberi ilmuβ kepada mereka, anak jalanan. Namun ternyata, aku juga bisa memberi baju, makanan, sembako, dan kebutuhan sekolah yang aku peroleh dari teman-teman yang memiliki sponsor dan sumbangan dari para muzakki.
Ada kebanggaan tersendiri di saat mengajar mereka. Ketika aku datang, aku disambut oleh puluhan anak-anak. Di saat selesai mengajar, mereka mengantar aku dengan lambaian tangan yang tulus… Doaku…semoga kelak di antara mereka ada yang bisa menjadi presiden yang shalih sehingga Indonesia bebas dari anak jalanan dan orang miskin. Amin.
(Cerita terinspirasi dari kisah nyata)
Jakarta, 18 September 2016
Karya : Dudi Akasyah
Alamat: Jl. Boulevard Gading Raya, Rukan Vila Gading Indah Blok A2/8, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Nomor HP 085-222-777-235
Email: sakinah2007@gmail.com
Comment